Jaminan Kesehatan Bagi Warga Tidak Mampu

Komisi B DPRD Kota Medan meminta Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Medan agar benar-benar melakukan validasi data warga Kota Medan yang miskin dan tidak mampu agar masuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, sehingga dana yang sudah dialokasikan tidak menjadi Silpa (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran).
“Jangan sampai Silpa seperti tahun lalu,” pinta Ketua Komisi B DPRD Kota Medan, Bahrumsyah, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dinkes, Dinsos dan BPJS Kesehatan, Kamis (10/1/2019).
Bahrumsyah menyebutkan, dari Rp6,11 triliun APBD Kota Medan TA 2019, sekitar Rp111,5 miliar dialokasikan untuk PBI BPJS Kesehatan bagi warga Medan yang miskin dan tidak mampu.
Berdasarkan hasil reses yang dilakukan anggota dewan, kata Bahrumsyah, ternyata masih banyak menemukan masyarakat Medan tidak memiliki jaminan kesehatan yaitu yang miskin dan tidak mampu berobat. Bahkan, ada peserta mandiri BPJS Kesehatan di Medan yang tak lagi mampu membayar untuk Kelas III sebanyak 101 ribu lebih.
Mereka tak mampu membayar premi sebesar Rp25 ribu perbulan. Selain itu, ada juga yang menunggak beberapa bulan dan bahkan sampai 4 tahun.
“Ada yang sama sekali warga Medan belum mendapat bantuan jaminan kesehatan. Oleh karenanya, tahun ini ditambah anggaran kuota PBI Rp21,5 miliar untuk 75 ribu jiwa dari Rp90 miliar lebih yang dialokasikan pada 2018. Jadi, bila ditotal bantuan untuk jaminan kesehatan yang dialokasikan mencapai Rp111,5 miliar setahun untuk meng-cover masyarakat miskin dan tidak mampu berobat,” ungkapnya.
Menurut Bahrumsyah, bantuan yang disalurkan ini tidak sia-sia karena menghasilkan PAD sebulan Rp7,2 miliar. Kalau setahun, sebesar Rp80 miliar lebih. “PAD ini merupakan pendapatan lain-lain yang sah, dan ini juga merupakan dana kapitasi karena BPJS Kesehatan menjadikan Puskemas di Medan sebagai tempat rujukan. Artinya, BPJS Kesehatan memberikan dana kompensasi,” ujarnya.
Ia menuturkan, menurut data yang diterima bahwa bantuan anggaran PBI tidak hanya ditampung dari APBD Medan saja melainkan APBD Sumut dan juga APBN. Total yang menerima bantuan jaminan kesehatan ini khusus warga Medan mencapai 834 ribu lebih.
“Dasar atau landasan diberikannya bantuan kesehatan ini karena berbeda dengan perlindungan sosial. Kalau perlindungan sosial, itu urusannya kemiskinan seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau PKH. Bantuan ini tolak ukurnya kemiskinan. Jadi kalau terkait dengan kesehatan, bantuan ini merupakan hak dasar mereka. Ada payung hukum yang bisa dibilang mengharuskan pemerintah kota supaya menjamin kesehatan masyarakatnya. Apalagi, Kota Medan memiliki kemampuan anggaran untuk masalah ini,” tuturnya.
Salah satu payung hukumnya, lanjut Ketua Fraksi PAN DPRD Medan ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2017 tentang optimalisasi pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional. Dalam instruksi ini pada poin 11, disebutkan kepada bupati dan wali kota diinstruksikan mengalokasikan anggaran program jaminan kesehatan nasional. Kemudian, memastikan seluruh penduduknya terdaftar dalam program ini. Jadi, dari Inpres Nomor 8/2017 ini sudah jelas bahwa urusan kesehatan tidak lagi menyangkut persoalan kemiskinan.
Selain itu, landasannya Permendagri Nomor 38/2018 tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2019. Dari Permendagri ini khususnya poin f, dalam rangka mewujudkan Universal Head Covered (UHC) maka pemerintah kota/daerah melakukan integrasi jaminan kesehatan daerah dengan jaminan kesehatan nasional bagi seluruh penduduk.
Dalam Permendagri ini juga dijelaskan karakteristik daerahnya. Bagi yang tidak mampu secara APBD, maka diutamakan jaminan kesehatan terhadap yang miskin. Sedangkan bagi yang punya kemampuan APBD, berlaku untuk seluruh. Namun, diprioritaskan terhadap yang miskin dan tidak mampu berobat.
“Untuk Medan, yang miskin dalam jaminan kesehatan sudah tertampung. Jadi, sekarang ditambah kepada yang tidak mampu berobat. Harapannya, pada 2020 Kota Medan sudah UHC. Sebab, Tanjung Balai dan Sibolga ternyata sudah UHC. Kenapa Medan belum bisa.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.